Dari Detik.com :
Jakarta - Pemerintah mempunyai sejumlah opsi untuk membebaskan 20 orang warga negara Indonesia (WNI) dari cengkeraman perompak Somalia. Masyarakat diminta memberikan ruang kepada pemerintah untuk bekerja membebaskan para sandera.
"Saya sebagaimana kemarin disampaikan oleh Bapak Presiden, saya kira sudah sangat tegas dan lugas, bahwa berbagai opsi di hadapan pemerintah, bukan saja direncanakan tapi juga sudah ada yang dilaksanakan," kata Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, di Kantor Wapres, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (13/4/2011).
"Jadi saya kira saat ini tolong diberikan ruang kepada pemerintah bekerja untuk segera melakukan pembebasan," tambah Marty.
Marty mengatakan, pemerintah akan terus berupaya membebaskan ke-20 WNI yang telah hampir sebulan ini disandera.
Pemilik kapal MV Sinar Kudus hingga saat ini juga terus menjalin komunikasi dengan para perompak.
"Kami diinformasikan oleh pemilik kapal, komunikasi terus berjalan. Kami kira akan ada upaya terus menerus untuk bisa melakukan pembebasan dari 20 warga negara kita itu," terang mantan Duta Besar RI untuk Inggris ini.
Kapal MV Sinar Kudus dibajak oleh perompak Somalia di perairan Laut Arab, saat melakukan perjalanan dari Pomalaa, Sulawesi Selatan, menuju ke Roterdam, Belanda, tanggal 16 Maret 2011 lalu. Kapal yang diawaki oleh 31 ABK, 20 orang di antaranya WNI, bermuatan biji nikel dan seharusnya sudah sampai 34 hari setelah keberangkatan.
(irw/gun)
Sudah satu bulan warga negara kita di sandera di negara lain, coba bandingkan dengan kisah tahun 1981 : (from wikipedia)
Operasi Woyla
Kronologi peristiwa
Pembajakan bermula saat pesawat yang dikemudikan Kapten Herman Rante baru saja terbang dari Pelud Sipil Talang Betutu, Palembang seusai transit untuk menuju Bandara Polonia, Medan. Setelah lepas landas, dua penumpang bangkit dari tempat duduk mereka, satu menuju ke kokpit
dan menodongkan senjata. Satu lagi berdiri di gang antara tempat-duduk
pesawat. Pada pukul 10.10 pesawat tersebut dikuasai oleh lima pembajak,
semuanya bersenjata api. Pembajak di kokpit memerintahkan pilot untuk terbang ke Kolombo, Sri Lanka, namun pilot berkata bahwa pesawat tersebut tidak memiliki cukup bahan bakar pesawat. Pesawat dialihkan ke Penang, Malaysia, untuk pengisian bahan bakar sebelum kemudian terbang lagi ke Thailand
atas paksaan teroris dan penerimaaan pemerintah Thailand untuk
mengizinkan pesawat tersebut mendarat di wilayahnya.
Drama pembajakan
pesawat Garuda DC-9 Woyla tersebut berlangsung empat hari di Bandara Don Mueang Bangkok dan berakhir pada tanggal 31 Maret setelah serbuan kilat Grup-1 Para-Komando yang dipimpin Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan. Pilot pesawat Garuda, Kapten Herman Rante, dan Achmad Kirang, salah satu anggota satuan Para-Komando Kopassandha, meninggal dalam baku tembak yang berlangsung selama operasi kilat pembebasan pesawat tersebut.
Para teroris mengaku berasal dari kelompok Islam ekstremis bernama Komando Jihad.
Pada saat terjadinya peristiwa ini, pasukan komando Indonesia belum
memiliki pengalaman dalam menangani peristiwa terorisme pembajakan
pesawat. Kelompok khusus militer Indonesia yang baru dibentuk saat itu, Kopassandha (Nama satuan Kopassus saat itu), meminjam sebuah pesawat DC-9 untuk mempelajari situasi.
DC-9 Woyla meninggalkan Malaysia setelah mengisi bahan bakar, menuju ke Bandara Don Mueang, Thailand.
Seorang penumpang wanita lanjut usia diperbolehkan turun di Malaysia
oleh para teroris. Para teroris kemudian membacakan tuntutan mereka,
yaitu agar anggota Komando Jihad yang ditahan di Indonesia segera
dibebaskan, dan uang sejumlah US$ 1,5 juta. Mereka juga meminta pesawat
untuk pembebasan tahanan dan untuk terbang ke tujuan yang dirahasiakan.
Mereka mengancam telah memasang bom di pesawat Woyla dan tidak segan untuk meledakkan diri bersama pesawat tersebut.
Operasi pembebasan
Operasi pembebasan pesawat DC-9 dikenal dengan sebutan Operasi Woyla yang dimulai sehari setelah tersiarnya kabar pembajakan tersebut. Pada pukul 21.00, 29 Maret, 35 anggota Kopassandha meninggalkan Indonesia dalam sebuah DC-10, mengenakan pakaian sipil. Pemimpin CIA di Thailand menawarkan pinjaman jaket anti peluru, namun ditolak karena pasukan Kopassandha Indonesia telah membawa perlengkapan mereka sendiri dari Jakarta.
Pukul 02.30 tanggal 31 Maret, prajurit bersenjata mendekati pesawat secara diam-diam. Mereka merencanakan agar Tim Merah dan Tim Biru memanjat ke sayap pesawat dan menunggu di pintu samping. Semua jendela pesawat
telah ditutup. Tim Hijau akan masuk lewat pintu belakang. Semua tim
akan masuk ketika kode diberikan. Pada pukul 02.43, Tim Thailand ikut
bergerak ke landasan, menunggu di landasan agar tidak ada teroris yang
lolos. Kode untuk masuk diberikan, ketiga tim masuk, dengan Tim Hijau
terlebih dahulu, mereka berpapasan dengan seorang teroris yang berjaga
di pintu belakang.
Teroris tersebut menembak dan mengenai Achmad Kirang, salah seorang anggota Tim Hijau di bagian bawah perut
yang tidak terlindungi. Teroris tersebut kemudian ditembak dan tewas di
tempat. Tim Biru dan Tim Merah masuk, menembak dua teroris lain,
sementara penumpang menunduk. Para penumpang kemudian disuruh keluar.
Seorang teroris dengan granat tangan
tiba-tiba keluar dan mencoba melemparkannya tetapi gagal meledak. Lalu
anggota tim menembak dan melukainya sebelum dia sempat keluar. Teroris
terakhir dinetralisir di luar pesawat. Imran bin Muhammad Zein selamat dalam peristiwa baku tembak tersebut dan ditangkap oleh Satuan Para Komando Kopassandha.
Tim medis kemudian datang untuk menyelamatkan pilot pesawat DC-9 Woyla, Kapten Herman Rante, yang ditembak salah satu teroris dalam serangan tersebut. Namun Kapten Herman Rante meninggal di Rumah Sakit di Bangkok beberapa hari setelah kejadian tersebut. Kedua korban peristiwa terorisme ini kemudian dimakamkan di TMP Kalibata.
Operasi kontra terorisme ini dilakukan oleh Grup-1 Para-Komando dibawah pimpinan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan yang kemudian beserta tim-nya dianugerahi Bintang Sakti
dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat, kecuali Achmad Kirang yang gugur
di dalam operasi terebut dinaikkan pangkatnya dua tingkat secara anumerta.
Cuma satu hari setelah kejadian, pasukan khusus TNI kita langsung berangkat untuk operasi pembebasan, sekarang kenapa sampai satu bulan lamanya... Dan yang kurang enak di telinga gw adalah bahwa pemerintah Somalia sudah menganjurkan bahwa pemerintah Indonesia segera menggelar operasi militer dan jangan bernegosiasi. Lakukan operasi militer seperti Korea Selatan dan Malaysia yang juga pernah mengalami kondisi yang sama dengan perompak Somalia tanggal 21 Januari 2011 kemarin. Aduh gan... Malaysia aja bisa... kenapa kita yang pernah sukses menghiasi halaman depan surat kabar dan majalah dunia pada tahun 1981 dengan operasi Woyla sekarang jadi terkesan melempem gini dan tidak siap. Wajarlah kalau pemerintah sekarang dianggap lambah mengatasi segala permasalahan yang ada.. Apakah dengan ini semakin terbukti anggapan tersebut. Shame on you... mereka warga Indonesia juga Gan... masa didiamkan saja terlunta-lunta di negara orang dengan status sandera.. Alangkah lucunya negeri ini!
0 komentar:
Post a Comment